Memanfaatkan Model Mental dalam Desain Produk

Apakah Anda seorang desainer produk yang ingin mempelajari model mental (mental models) dalam desain produk? Jika iya, berikut adalah penjelasan tentang model mental menurut Miklos Philips.

Dalam mengembangkan suatu produk, baik itu berinovasi produk baru atau mengoptimalkan yang sudah ada, Anda perlu meningkatkan pengetahuan terkait pengguna produk Anda.

“Orang-orang tahu bagaimana produk Anda bekerja dan bagaimana menggunakannya bahkan sebelum Anda mendesainnya.”

Ketika desainer ingin membuat produk yang menarik dan orisinal, orang-orang akan selalu menggunakan produk dan fitur baru berdasarkan apa yang telah mereka gunakan sebelumnya. Dalam lingkup User Experience (UX), hal ini disebut dengan model mental. Dengan adanya model mental ini, desainer harus mendesain produk sesuai dengan harapan pengguna.

Apa itu Model Mental?

Menurut Nielsen Norman Group, model mental didasarkan pada kepercayaan, bukan fakta. Model tentang sistem yang sudah pernah digunakan atau dipahami oleh pengguna.

Otak seseorang mengembangkan model mental melalui kebiasaan dalam menggunakan produk yang ada saat ini. Mulai dari kebiasaan saat menggunakan sistem secara rutin, seperti situs web, aplikasi, dan mempelajari tentang cara kerja sistem.

Orang-orang akan mentransfer harapan yang telah mereka bangun dari satu produk yang mereka kenal ke produk lain yang tampak serupa.

Kita tidak jarang melihat anak-anak kecil menghabiskan lebih banyak waktu berinteraksi dengan perangkat layar sentuh daripada buku atau televisi biasa. Ketika mereka mencoba menggesek TV layar datar atau buku, kemudian mereka terkejut karena tidak ada yang berubah saat mereka menggesekkan jari mereka, mereka telah membangun harapan (model mental) berdasarkan kebiasaan mereka menggunakan perangkat layar sentuh. Model mental tentang menggesek adalah cara untuk mendapatkan respons saat mengoperasikan setiap objek yang berbentuk kotak. Hal ini terjadi karena mereka telah mengenal cara kerja objek sebelumnya.

Orang-orang memiliki model mental yang unik yang secara umum dibentuk dari tingkat pendidikan, pengalaman, usia, dan budaya. Untuk menyelaraskan desain dengan model mental pengguna, proses desain harus memasukkan ‘kebiasaan’ pengguna tentang cara produk bekerja. Ini sangat penting sebagai bagian dari metode penelitian UX yang digunakan untuk mengungkap kebutuhan pengguna dan pain point.

Memperbaiki Model Mental Pengguna yang Tidak Selaras

Model mental yang tidak selaras antara pengguna dan desainer dapat menimbulkan masalah usability karena produk tidak sesuai dengan harapan pengguna dan pengetahuan pengguna yang ada. Pengguna memiliki harapan dan model mental yang didasarkan pada pengalaman sebelumnya saat menggunakan produk tertentu. Perubahan yang tak terduga pada UX atau UI dapat menimbulkan kebingungan atau bahkan frustrasi. Hal ini bisa berdampak pada perusahaan produk tersebut.

Pengujian usability dan beberapa metode penelitian UX dapat digunakan untuk mengetahui keselarasan model mental antara pengguna dan desainer. Selain itu, kesenjangan model mental dapat diperbaiki dengan cara komunikasi interaktif, real-time feedback, dan/atau memberi tanda untuk membantu pengguna dalam mempelajari fitur produk dan tampilan yang baru.

Menyediakan Versi Lawas

Pembaruan dan perubahan desain seharusnya tidak menyebabkan kekacauan atau kebingungan bagi pengguna. Daripada memaksa pengguna untuk memperbarui perangkat lunak, lebih baik memberi kesempatan kepada pengguna untuk memperbaruinya saat mereka siap. Ketika pengguna tersebut secara sadar memilih kapan tampilan dapat berubah dan berpotensi menantang model produk yang sudah familier, mereka akan menjadi lebih sadar untuk menyesuaikan diri dengan desain baru.

Salah satu contohnya adalah Google yang baru-baru ini merombak Google Calendar. Agar pengguna tidak frustrasi akibat perubahan desain yang drastis dan signifikan, Google menyediakan fitur untuk beralih antara versi lama dan pembaruan selama beberapa bulan sebelum akhirnya pengguna mengganti versi lama sepenuhnya. Hal ini dilakukan Google untuk menjaga kepercayaan selama pengguna beradaptasi dengan tampilan baru dan meminimalkan risiko mengecewakan pengguna.

Pembaruan dan Perubahan dengan Skala Kecil

Melakukan perubahan secara besar-besaran pada desain yang sudah ada, dapat melanggar model mental pengguna yang ada. Perusahaan dapat mempertimbangkan untuk membiarkan pengguna melakukan penyesuaian dalam skala kecil melalui beberapa pembaruan atau menguji perubahan dengan grup yang lebih kecil.

Facebook telah cukup sukses dalam penggunaan strategi ini. Misalnya fitur “Reactions”, diterapkan dan diuji secara luas di wilayah tertentu sebelum dirilis di seluruh dunia. Meskipun penyesuaian dalam skala kecil ini sering dilakukan, Facebook tetap berhati-hati dalam meluncurkan pembaruan skala besar yang dapat mengganggu model mental pengguna.

Merancang Model Mental Dasar

Tujuan desainer UX dalam membuat desain produk adalah menciptakan proses yang memungkinkan pengguna untuk mencapai tujuan mereka dengan cepat dan mudah. Manusia memiliki sebuah kebiasaan, dan memperbaiki model mental pengguna berarti pengguna akan tahu bagaimana cara menggunakan produk yang belum pernah mereka gunakan sebelumnya.

Penelitian Model Mental

Penelitian tentang model mental merupakan hal yang biasa dilakukan oleh para UX desainer untuk mengidentifikasi pain point pengguna saat membuat produk baru atau memperbaiki produk tersebut. Ketika suatu hal berhubungan dengan mental model, metode dan proses UX research yang sama dapat diterapkan untuk mempelajari pesaing atau produk yang serupa.

Saat mendesain produk baru, mempelajari sistem yang sudah ada dapat menghemat banyak waktu dan uang bagi desainer. Karena hal tersebut dapat menghilangkan kebutuhan seperti membuat prototipe baru dari awal yang bertujuan untuk menguji konsep baru. Amati bagaimana pengguna berinteraksi dengan desain yang ada untuk mengetahui apa yang mereka harapkan dari suatu produk yang serupa.

Bercermin pada UX yang sudah ada

Aplikasi paling populer di dunia dapat mempengaruhi aplikasi lain, dan mereka menerapkan desain berdasarkan model mental yang ada.

Misalnya, Facebook memperkenalkan pola interaksi “Likes,” yang kemudian ditiru oleh LinkedIn dan Instagram. Twitter memperkenalkan hashtags, yang kemudian ditiru oleh Facebook dan Instagram. Tagging diperkenalkan oleh Twitter dan kemudian disalin oleh Facebook, LinkedIn, Instagram, dan lainnya. Instagram memperkenalkan stories, dan kemudian Facebook juga mengimplementasikannya. Snapchat memperkenalkan filter dan manipulasi foto, lalu Facebook menirunya.

Meskipun semua contoh ini melakukan adopsi fitur, mereka menerapkan variasi yang sangat sedikit dalam penerapan fitur-fitur tersebut. Misalnya, Facebook memiliki fitur pembaruan status, news feeds, dan likes, kini menjadi pola yang semakin umum di aplikasi lain.

LinkedIn juga menawarkan fitur pembaruan status pribadi, news feeds, atau notifikasi dengan cara apa pun yang pengguna inginkan. Dengan kesuksesan LinkedIn, jumlah pengguna yang besar, dan model mental pengguna yang ada, mereka lebih memilih untuk mengadopsi aplikasi Facebook. Hal ini bertujuan agar pengguna yang belum pernah menggunakan LinkedIn, bisa menggunakan LinkedIn dengan menerapkan pengalaman mereka yang sudah terbiasa dengan aplikasi Facebook.

Kreativitas dan Inovasi Dasar

Mendesain berdasarkan model mental menjadi suatu hal yang penting untuk memaksimalkan usability. Menciptakan dan berinovasi dalam model mental dan standar yang ada dapat menghasilkan produk baru dan menarik yang masih selaras dengan harapan pengguna. Perlu diingat bahwa perubahan model mental itu harus dilakukan secara strategis dan hanya jika diperlukan.

Sebagai contoh, kebanyakan orang telah mengembangkan model mental slider volume. Dalam contoh di atas, slider di sebelah kiri adalah model mental slider volume yang dimiliki banyak orang. Slider tengah dirancang sebagai lelucon, tetapi menggambarkan poin penting. Slider tersebut benar-benar bertentangan dengan model mental dan harapan pengguna, terlihat seperti slider vertikal, tetapi beroperasi secara horizontal. Slider di sebelah kanan diambil dari desain slider volume Apple iOS. Apple menggunakan kreativitas dan inovasi untuk merancang sesuatu yang baru dan orisinal, tetapi Apple tetap menggunakan model mental yang membentuk harapan tentang bagaimana slider volume beroperasi.

Kesimpulan

Melakukan penelitian UX pada desain yang sudah ada akan membantu memperjelas model mental yang ada dan desainer dapat memanfaatkan model-model pengguna produk mereka. Hal ini akan membantu desainer mengoptimalkan kegunaan produk digital apa pun.

Desainer yang mengabaikan model mental akan menciptakan risiko sendiri. Dengan memanfaatkan model mental yang ada sebagai landasan kreativitas dan inovasi, dapat memungkinkan desainer meningkatkan produk yang sudah ada serta membantu mereka merancang yang baru yang menarik.

Jika Anda memiliki ide untuk membuat produk, Anda bisa konsultasi dan mewujudkan ide Anda bersama Techarea.

Reference

Philips, Miklos. 2019. Leveraging Mental Models in Product Design. [Online] Available at :https://medium.com/swlh/leveraging-mental-models-in-ux-design-21ba8fbce22d [Accessed February 21, 2019]

Roziq Bahtiar

Roziq Bahtiar

Saya seorang insinyur perangkat lunak, pengusaha, dan blogger teknologi. Saya merancang dan mengembangkan perangkat lunak untuk berbagai platform. Saya telah membuat situs web dan aplikasi Android yang memiliki UI dan UX yang bagus

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *